Humaira Belahan Jiwa Rasulullah
Pembaca yang baik,
Kali ini saya akan membahas figur seoang wanita yang
memiliki ketulusan hati yang begitu
menawan. Membicarakannya ibarat
menguntai butir-butir mutiara, lantaran pribadinya yang syarat keutamaan.
Beliau tampak istimewa di antara segenap kaum hawa. Tak heran, demikian berarti
pula kedudukannya di hati Nabi SAW.
KEHARUMAN
NAMANYA
Dia adalah
putri Abu Bakar Ash-Shidiq yang Rasulullah SAW lebih suka memanggilnya “Humaira” ( putih kemerahan ). Dia lah
‘Aisyah binti Abu Bakar Abdullah bin Abi Kuhafah berasal dari keturunan mulia
suku Quraisy. Ibunya adalah Ummu Ruman binti ‘Amir al-Kinaniyyah.
Keharuman
namanya terukir indah dalam sejarah umat Islam. Berparas cantik jelita,
berkulit putiih, hingga disebut untuknya panggilan al-Humaira.
TAHUN KELAHIRANNYA
‘Aisyah radhiallahu anha di lahirkan sekitar
tujuh tahun sebelum hijrah. Beliau delapan tahun lebih muda dari Fathimah putri
Nabi SAW. Beliau tumbuh dalam naungan cahaya Islam dan Tarbiyah yang lurus.
Masa kanak-kanak bersama sang Ayah dan kemudian beralih dalam bimbingan Nabi
Muhammad SAW sungguh masa kecil yang indah dan saya pun iri mendengarnya.
PERNIKAHAN AISYAH R.A.
Suatu
hari, beberapa belas bulan sebelum
peristiwa hijrah, di saat usianya 6 tahun ( masih
menjadi perdebatan tentang usia Aisyah saat menikah dan ada yang membantah
beliau menikah di usia 19 atau 20an namun yang sudah di kenal banyak orang
adalah usia 6 tahun itu yang membuat fitnah orang-orang kafir terhadap
Rasulullah ). Gadis cerdas ini di persunting oleh manusia termulai
Rasulullah SAW berdasarkan perintah Allah SWT melalui wahyu dalam mimpi beliau.
Rasululah
SAW mengisahkan mimpi beliau kepada ‘Aisyah : “Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang
bersamamu malaikat yang berkata : ini adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai
yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku berkata sesungguhnya hal itu talah di
tetapkan di sisi Allah.” [Muttafaqun
‘alaihi dari ‘Aisyah r.a.]
Inilah wahyu
dari Allah SWT. Meski telah menjadi istri namun beliau masih menjalani
hari-hari bersama ayah bundanya. ‘Aisyah r.a. juga turut berhijrah bersama
keduanya. Tiga tahun kemudian, di kota Madinah, sepulangnya Rasulullah SAW dari
perang Badar. Yang saat itu ‘Aisyah menapaki usia 9 tahun sedang bermain ayunan
layaknya anak-anak seusianya. Beliau didatangi sekelompok wanita yang kemudian
mendandani dan mempersiapkan ‘Aisyah r.a. untuk suatu hal yang istimewa. Hari
itu adalah hari bertemunya beliau dengan Rasulullah SAW. Itu pula saatnya
memasuki mashligai rumah tangga bersamanya.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGANYA
Mereka
mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana Nubuwaah. Di
rumah kecil di samping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagian walaupun
tanpa permadani indah dan gemerlap lampu, yang ada hanyalah tikar kulit bersih
sabut dan lentera kecil berminyak samin (minyak hewan). Dijalaninya suka duka
kehidupan bersama kekasihnya dengan ketulusan hati. Begitu patuh, jauh dari sikap
menuntut dan tidak manja. Kefakiran dan rasa lapar dilaluinya dengan kesabaran,
sampai tatkala api di dapurnya tak menyala dalam hari-hari yang panjang. Hanya
ada kurma dan air. Selama sembilan tahun kemudian, ‘Aisyah r.a. mendampingi
sang suami sebagai sebaik-baik istri. Banyak kisah yang menggambarkan keindahan
ahlak seorang istri pada dirinya. Terselip padanya hal-hal yang menyenangkan
hati Rasulullah SAW, di antara berat dan payahnya perjalanan dakwah. Bersama
sang Permaisuri, Rasulullah SAW bahkan pernah tertawa sampai tampak gigi-gigi
geraham beliau. Pernah juga beliau lomba lari dengan istri yang satu ini,
terulang hingga dua kali. Pernah pula Rasulullah SAW mengajak sang istri
menyaksikan permainan tombak yang diperagakan oleh orang-orang Habasyah di
Masjid. Rasulullah SAW sangat mengenal dan mengerti ‘Aisyah r.a. sampai-sampai
beliau SAW tahu kapan ‘Aisyah ridha terhadapnya dan kapan pula sebaliknya.
Tidaklah seorang istri yang shalihah ini marah terhadap suaminya, melainkan
hanya dengan meniggalkan sebutan namanya. “Tidak,
demi Rabb Muhammad !”, ini ucapan ketika ‘Aisyah ridha. Dan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim !”, kalimat
yang muncul kala sang Humaira’sedang marah.
DI ANTARA KEUTMAAN ‘AISYAH R.A.
Rasulullah
SAW pernah menyampaikan salam dari Malaikat Jibril untuk wanita mulia ini,
“Wahai Aisy’ ini Jibril, dia menyampaikan salam kepadamu.” Lalu pernah ketika Rasulullah sakit, Rasulullah
lebih memilih di rawat di rumah ‘Aisyah dalam sakitnya menjelang wafatnya.
Hingga akhirnya Rasulullah wafat di pangkuan ‘Aisyah dan di makamkan di
rumahnya tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Ketika itu ‘Aisyah r.a. berusia
18 tahun. Sepeninggal Rasulullah, ‘Aisyah mengisi hari-harinya dengan
mengajarkan Al-Qur’an dan Hadist dibalik hijab bagi kaum muslimin pada masanya.
Sisa usia yang masih panjang, beliau habiskan sebagai Ummul Mukminin dengan
penuh keteladanan. Kemuliaan demi kemuliaan terkumpu apik dalam dirinya.
‘Aisyah r.a.
adalah seorang yang sering berpuasa, selai juga gemar bersedekah. Suatu ketika
beliau r.a. pernah mendapatkan uang sebesar seratus ribu dirham. Sore harinya,
seluruh uang itu telah disedahkan. Tatkala meminta sesuatu untuk berbuka,
berkatlah pembantu wanitanya. “Wahai
Ummul Mukminin, tidaklah engkau membeli daging untuk kita dengan satu dirham
saja ? “’Aisyah tersadar,” jangan engkau menegurku, seandainya tadi engkau
mengingatkanku niscaya akan kulakukan.”
Pernah pula,
‘Aisyah r.a. menyedekahkan uang sebesar tujuh puluh ribu dirham kepada kaum
muslimin. Bersamaan dengan itu, beliau sendiri membutuhkannya dan terdapat
tambalan pada pakaiannya. Begitulah beliau yang tidak gelisah dengan kefakiran
dan tidak menyalahgunkan kekayaan, kezuhudannya terhadap dunia menambah
kemuliaanya. ‘Aisyah r.a. juga melalui hari-harinya dengan siraman ilmu dari Rasulullah
SAW, sehingga ribuan hadist beliau hafal. ‘Aisyah r.a. juga ahli dalam faraid (warisan dan ilmu obat-obatan).
Urmah bin Jubair putra Asma binti Abu Bakar bertanya kepada ‘Aisyah r.a. :”Wahai bibi, dari mana bibi mempelajari ilmu
kesehatan?” ‘Aisyah menjawab : “Ketika
aku sakit, orang lain sakit aku pun mengobatinya dengan sesuatu.
Selain itu, aku mendengar dari orang lain, lalu aku menghfalnya.” Kehidupan
sarat dengan nuansa ilmu. Beliau mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Demikian
pula para penuntut ilmu banyak belajar dan bertanya padanya. Berkata Abu Musa
al- ‘Asy’arir.a. “Tidakalah terjadi suatu
saja permasalahan yang rumit bagi kami, para sahabat Muhammad, lalu kami
menanyakannya kepada ‘Aisyah, kecuali kami mendapati ilmu tentang hal itu di
sisinya.”
WAFATNYA ‘AISYAH R.A.
Menjelang
wafatnya, datanglah Ibnu ‘Abbas r.a. Semula ‘Aisyah r.a. enggan menerimanya
karna tak ingin mendengar pujian darinya. Hingga akhirnya, Ibnu ‘Abbas r.a.
masuk lalu menyampaikan sanjungannya sebagai kabar gembira tentang keutmaan
‘Aisyah r.a. Tatkala Ibnnu ‘Abbas r.a. telah pergi dan datang Ibnu Zubair r.a.
setelahnya, berkatalah wanita mulia ini, “Ibnu
‘Abbas datang dan menyanjungku, padahal aku ingin agar diriku menjadi sesuatu
yang tidak berarti, lagi lupakan.” Tepat pada tahun 57 H, beliau r.a. wafat pada usia 63 tahun lebih di
masa khalifah Marwan bin ‘Abdil Malik.
Wanita mulia ini meniggal pada malam 17 Ramadhan dan di kebumikan di
pekuburan Baqi’. Sungguh benar Rasulullah
SAW yang bersabda tentangnya, “Keutamaan
‘Aisyah r.a. atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid atas seluruh makanan.”
Tsarid adalah makanan lezat dari adonan tepung yang di campur kuah daging, terkadang di sertakan
pula dagingnya. Wahai Humaira, belahan jiiwa Rasulullah .
Sumber : Buletin al-Faedah
0 Response to "Humaira Belahan Jiwa Rasulullah "
Post a Comment